Tuesday, April 21, 2020

Kartini yang Kukenal



Cerita hidup Kartini rasanya pertama kali kuketahui saat SD tempatku sekolah mengadakan pertunjukan kesenian dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Program utamanya drama tentang Kartini, yang kebetulan saat itu diperankan oleh kakakku sendiri @anassatriyo. Kemudian berbagai pertunjukan seni lainnya seperti paduan suara, angklung, tari-tarian, disusun sedemikian rupa agar melebur ke dalam drama.
Kesempatan lain aku mengenal sosok Kartini melalui kunjungan ke Museum Kartini di suatu masa liburan sekolah dengan keluargaku, menonton film tentang Kartini yang kutemukan di perpustakaan SMP karena tak kunjung dijemput pulang, dan presentasi temanku saat SMA atas instruksi guru Bahasa Inggris yang sangat mengidolakan Kartini.

Sampai hari ini yang aku ingat adalah, Kartini putri pejabat, yang sebagaimana lazimnya pada masa itu, setelah menstruasi pertama dipingit dan mulai dicarikan calon suami. Karena posisi politik ayahnya, Kartini, bersama adik-adiknya berkesempatan mendapat pendidikan di sekolah Belanda. Kartini prihatin terhadap anak-anak lain yang berasal dari keluarga pekerja, petani, siapapun yang bukan keluarga darah biru dan pejabat, yang tidak berkesempatan sekolah, mengenal huruf pun tidak. Beliau berinisiatif membuka sekolah kecil-kecilan di kediamannya, mengajari anak-anak sekitar rumahnya, membaca dan menulis, bagian ini aku tidak tahu persis dilakukan saat beliau remaja (sebelum menikah) atau setelah menikah.

Namanya terdengar luas karena kumpulan suratnya untuk teman pena di Belanda, tentang pemikiran dan mimpinya untuk pendidikan di Indonesia, terutama bagi perempuan. Perempuan pada banyak budaya adalah warga kelas dua. Keberadaannya untuk melayani keluarga, sebagai istri dan ibu. Tidak ada pilihan untuk mandiri, maka harus diperistri. Tidak ada pilihan untuk bekerja, maka harus tunduk pada suami. Hidup seputar kasur dan dapur, maka tak perlulah sekolah tinggi-tinggi.
Kartini berharap kehidupan lebih baik bagi perempuan. Bisa belajar, bisa sekolah, punya pilihan atas hidupnya. Lalu kelak ketika menjadi ibu, menjadi pendidik yang unggul bagi anak-anaknya.

Aku tak pernah baca surat Kartini, dalam bahasa apapun. Aku tak begitu mendalami kisah hidupnya.
Pesan yang kupetik dari kisah hidup Kartini adalah, kita perlu memperjuangkan hidup. Jangan menyerah dengan keadaan. Lakukan yang terbaik meski dalam keterbatasan, untuk mewujudkan mimpi.
Kartini merindukan pendidikan bagi dirinya sendiri, juga bagi orang lain. Kartini suka belajar, suka membaca dan belajar bahasa. Apa yang beliau baca membuka cara pandangnya, menambah wawasan, membawanya ke dunia lebih luas dari kamar tempatnya menunggu dipinang oleh entah siapa. Keterampilannya berbahasa Belanda memungkinkan komunikasi dengan banyak orang, baik di Indonesia maupun Belanda. Membaca dan berbahasa, mengantarkannya pada dunia baru.

Aku satu dari sekian perempuan yang ada di negeri ini. Aku satu dari sekian perempuan yang berkesempatan belajar sampai pendidikan tinggi. Aku satu dari sekian perempuan yang bisa hidup mandiri tanpa suami. Aku satu dari sekian perempuan yang dengan membaca dan berbahasa, memasuki dunia baru.
Aku yakin aku tidak sendiri, tapi aku juga tahu tidak semua bisa seperti aku.
Tidak semua perempuan di negeri ini berkesempatan belajar, baca tulis pun, apalagi sampai sarjana. Tidak semua perempuan punya pilihan hidup sendiri, antara bersuami atau dengan orangtua. Tidak semua perempuan punya akses bacaan yang memperluas wawasan, juga tidak semua cakap berbahasa lain yang menjembatani informasi.
Dalam banyak keterbatasan dan kesenjangan yang masih terjadi, kesempatan mendapatkan pendidikan di negeri ini hari ini, jauuuuuh lebih baik daripada masa Kartini. Ini sungguh kemewahan, boleh terus belajar dan tak dipaksa kawin.
Dalam banyak keterbatasan dan kesenjangan yang masih terjadi, kita punya andil membuka kesempatan belajar yang lebih luas, lebih merata, lebih membumi sesuai tantangan setiap pribadi.
Ketika media berlomba mengusung satu atau beberapa nama, inilah Kartini modern, aku mau ajak kamu berkaca dan menemukan “Kartini” dalam dirimu.
Apa yang membakar semangatmu? Apa yang mau kamu perjuangkan? Apa kegelisahanmu yang sekaligus juga bara jiwamu?
Mari kita teruskan, perjalanan mewujudkan mimpi, sebagaimana kita teladani dari Kartini.

WORK FROM HOME


Bekerja dari rumah, bukanlah hal baru. Bukan hal yang asing karena memang aku tak pernah punya kantor tetap yang mengharuskan masuk Senin-Jumat pk 9.00-17.00
Mengetahui kesulitan banyak orang yang kini melakukan segalanya sendiri, hanya terhubung lewat telepon atau video call, aku jadi ingat perjuanganku beberapa tahun lalu.

Aku lulus tahun 2014 hampir akhir tahun. 
Efektif mulai bekerja Maret 2015, di perusahaan sepupu yang baru berusia beberapa bulan.
Aku bisa mengerjakan tugasku dari mana saja, selama ada laptop dan koneksi internet. Pada awal aku kerja juga tempat kami tidak cukup untuk aku terus ada di situ. 
Di rumah, aku ga punya meja kerja, jadinya ngerjain apapun di kasur dengan meja lipet. Atau sambil tengkurap, senderan setengah tidur. Kurang proper lah.
Pernah juga aku tetap ke gedung tempat kami membuka usaha, tapi bekerja dari cafe di bawah. Paling tidak berasa vibe pergi ke suatu tempat.
Maret 2016 aku memutuskan freelance, saat itu ada beberapa opsi yang aku bisa jajaki.
Juli 2016 aku pertama kali dapat kerjaan murni aku rancang konten proyeknya, berapa lama, dan fee.
Dari proyek itu berlanjut jasaku dipakai oleh klien sampai hampir setahun untuk mengerjakan area lain dalam bisnisnya.
Modelnya mirip sama kerjaan pertamaku, aku bisa kerjakan di rumah, hanya perlu sesekali ke tempat klien.
Di masa ini aku udah lumayan belajar bahwa kerja di kasur, ga produktif. Aku mulai kerja di meja di ruang tamu meskipun jadi kepanasan karena ga ada AC. Beneran duduk di kursi dan berkreasi di atas meja membantu produktivitasku.
Beberapa tahun setelahnya, dengan proyek dan klien berbeda aku berulang kali dihadapkan pada mekanisme kerja di rumah. Rapat dari rumah, bikin presentasi dari rumah, menyusun laporan dari rumah.
Singkat cerita sekarang aku bisa kerja dengan kursi dan meja di kamarku. Ada tempat untuk dokumen juga sehingga mempermudah kerja.
Awal 2019 aku pindah ke apartemen 2 kamar. Area tengah nyambung dengan area dapur dan menuju balkon. Ya mudah2an kebayang lah bentuknya. Aku mulai telaten kerja di situ, kemudian ada tantangan baru. Aku tergoda untuk masak daripada kerja. Kebetulan juga saat itu aku ada kerjaan mengajar yang ga bisa dari rumah, aku harus pergi ke tempat ngajar. Jadilah jam2 berharga sebelum berangkat ngajar akhirnya berakhir dihabiskan di dapur. Habis masak, capek, rebahan. Ketika kupaksa mengerjakan pun aku tak tahan duduk lama salah satu sebabnya karena kursi yang tersedia membuatku sakit pinggang.
Sudah kurang motivasi, ada distraksi memasak, sarana kerja tidak mendukung.

Awal 2020, aku menemukan tempat kerja baru, sebuah coworking space 5 km dari tempatku tinggal. Buatku yang tumbuh besar di Jakarta Timur tapi sekolah di Jakarta Pusat, 5 km terasa koprol sebentar nyampe, walaupun kenyataannya butuh 20-30 menit menjangkaunya. Duduk di tempat yang bukan rumah, ada meja dan laci khusus untukku, sungguh membantu untuk fokus bekerja. Aku sampai lupa waktu saking asiknya. Hal ini juga ga baik, karena aku jadi lupa makan. Beneran tidak berasa lapar, namun meresikokan kesehatanku. Akhirnya aku juga ga sering kerja di tempat itu, lebih memaksimalkan ruang meeting untuk bertemu klien. Di masa ini aku mulai menjalankan bisnis pribadi (personal enterprise) di bidang pengembangan diri dengan layanan berupa konseling dan workshop.  

Sampailah kita di masa sekarang, dari berbagai pekerjaan yang kujalani, tidak semua bisa dikonversi menjadi online. Mengajar ekstrakurikuler di SMP dan mengajar Biologi di bimbel masuk PTN , blas, tidak bisa dilakukan sama sekali. Tidak ada kebutuhan juga karena ujian nasional dibatalkan dan tes masuk PTN meniadakan tes mata pelajaran.
Yang masih bisa kulakukan, syukurnya, menerima klien konseling dengan video call dan mengembangkan workshop dengan video conference.
Aku punya pilihan tempat kerja di ruang tengah, dengan resiko terdistraksi kulkas dan dapur, atau di dalam kamar dengan resiko ingin rebahan.
Aku coba menata barang-barang di kamar sehingga lebih ada space untuk bekerja. Di kamar pun aku punya pilihan bekerja dengan kursi dan meja, atau di kasur dengan meja lipat. O ya, setelah insiden sakit pinggang karena kursi ruang tengah, aku membeli kursi kerja yang ergonomis. Tetap perlu stretching sebelum dan sesudah duduk lama, tapi sangat jauh lebih menjaga pinggang daripada kursi sebelumnya.
Masalah pinggang ini sungguh jadi tantanganku di masa jaga jarak ini. Aku tidak bisa ke dokter atau fisioterapis untuk membantu kesembuhan. Andalanku sekarang adalah yoga dan meditasi.
Duduk bersila di kasur dengan meja lipat terbukti tidak baik untuk pinggang. Maka aku sekarang disiplin bekerja di meja dengan kursi ergonomis dan sandaran kaki dari barang yang tersedia.

Tulisan ini kubuat dengan setting kerja demikian.
Bahkan kalau video call, aku punya seperti alat dongkrak untuk menaruh laptop agar layarnya sejajar dengan mata.

Lewat tulisan ini aku ingin berbagi perjalananku menemukan pengaturan yang pas untuk kebutuhan dan kebiasaan bekerjaku. Dengan memanfaatkan apa yang tersedia di sekitarku, sedikit upgrade barang-barang pendukung.
Aku butuh waktu segitu lama, dengan variasi jenis pekerjaan dan tempat bekerja sampai menemukan ritme kerja yang nyaman. Semoga teman-teman bisa menemukan yang cocok untuk teman-teman. Kalau ketemu dalam waktu singkat, baguuus… selamat untuk Anda. Kalau sekarang masih bingung coba yang mana dulu, atau sudah mulai coba tapi belum ketemu yang pas… gapapa… teruskan pencarian Anda… 
Dengan intensi ingin lebih optimal berkarya, nanti ketemu caranya.


Monday, November 23, 2015

Perjalanan

Pagi ini aku bangun lebih pagi
Dengan tekad lebih kuat untuk bekerja lebih keras, dan cerdas
Bangun, mandi, dandan, berpakaian
Memesan ojek namun tak kunjung datang
Mencoba transjakarta yang sebenernya cukup dekat

Sesampai di halte ada dua bus datang bersamaan dari sisi berlawanan
Aku yakin aku harusnya naik ke bus di sisi kanan
Namun sekilas tulisan berjalan di muka bus membuatku ragu
Maka akhirnya aku naik bus di sisi kiri

Dari 2 menit pertama aku tahu aku salah, tapi alih-alih turun di halte berikutnya aku teruskan perjalanan
Aku merasa bersalah, pada hidupku, karena mengambil keputusan dengan terburu
Padahal waktuku masih lama sampai jam masuk kerja. Menunggu bus berikutnya juga tak apa
Karena tergesa dan tak ingin kehilangan kesempatan aku melompat pada yang tersedia

Mengingat kembali perjalananku setahun ini, paling tidak aku belajar, keputusan yang kuambil saat aku panik, takut, cemas, dan terpuruk, membuatku berulang kali mengevaluasi jalanku
Aku hampir tidak pernah menyesal, karena bagaimanapun sesaknya keadaanku, aku yakin akan keputusanku di masa sebelumnya
Aku pernah mengalami hidup yang lebih sulit dan sendiri sebelum ini
Namun rasanya baru sekarang aku begitu mempertanyakan keputusanku, dan kerap ingin keluar 

Pada episode hidupku yang sekarang, kunikmati saja salah naik bus ku ini, pada akhirnya aku bisa kembali ke tujuan yang sesungguhnya, dalam waktu yang tidak juga terlambat
Dan manakah aku tahu bila ini cara Tuhan menambahkan kemampuanku sekaligus menghindarkan aku dari derita

Pengingat

Kemarin aku tidak berangkat kerja
Malahan pulang ke rumah karena permintaan orang tua
Kata mereka, coba ajak adik bicara
Sepertinya kamu bisa masuk ke dunianya

Aku pulang
Masuk ke kamarnya dan mengucap salam
tidak ada pertukaran kata yang berarti sampai berjam-jam kemudian

sehabis makan siang barulah rentetan keluh terujar
Bertahun-bertahun menjadi siswi paling handal, kini ia menghadapi kenyataan hidup
Pelajaran tak lagi mudah dimengerti. 
Tidak biasa belajar rutin dan  tidak serta merta mengerti materi
Ada kerja keras yang perlu dilakukan

Kasihan, tapi bersyukur
Ia boleh mengalaminya di saat masih muda
Saat jiwanya masih elastis untuk terpola

Aku teringat pada jiwaku sendiri yang juga masih belia
Merasa tak bisa apa-apa setelah segudang perjuangan di suatu masa
Merasa kecil dan tak berarti, merasa tak berpijak dan tak bertuju

Pelajaran untuk kami berdua: untuk tidak menyerah
Bukan untuk bisa dan ahli dalam setiap perkara tapi untuk bangkit lagi setiap jatuh
Kata Dori, just keep swimming swimming swimming
Biar secenti, tapi maju. Biar semili tapi tidak berhenti

Memang, secara teknis ada keterampilan yang perlu kami berdua kuasai
Tapi paling tidak semangat untuk terus berlari tidak boleh padam
Yang diberi pada kami lebih banyak dari yang orang punyai
Yang bisa kami beri harus lebih banyak dari yang kami miliki

Karena sepatutnya kami hanyalah sarana berkarya Sang Pemilik dan Pemberi Rejeki 

Sunday, November 15, 2015

Satu bulan hidup sendiri

Malam dunia
Kembali lagi ke bilikku yang kecil namun menawan dekat Pusat Ibukota
Bersiap menjalani hari-hari yang padat seminggu ke depan

Sudah sebulan aku menetap di bilik ini
Di tempat banyak kecoak dan tak ada makanan enak

Pelan-pelan membereskan sana sini
Menambah alat bersih-bersih dan perlengkapan masak

Aku menemukan duniaku kembali
Dunia dalam sepi dan sendiri
Hanya aku dan diriku dalam 28 meter persegi

Damai dan ketenangan lebih banyak kucecap
tanpa harus takut sewaktu-waktu ada situasi yang memanas
dan obrolan singkat menjadi beban kepala

belajar hidup, itu mata kuliahku sekarang
Belajar menata dan mengelola
Membuat peraturan dan batasan
Bilik ini manifestasi jiwaku, yang bertumbuh dan berbutuh
Mengenali kebutuhanku dan dengan sistematis memenuhinya

Persoalan membeli kapur barus dan beras
Perkara jam berapa menanak nasi dan mengeringkan rambut
Perihal bayar tagihan listrik dan beli sabun cuci

Karierku sedang kumulai
Sebagai wirausahawan di kantorku, juga sebagai manajer rumah tangga di apartemenku
hidup yang memang kupilih, kuinginkan, dan kupinta dari Yang Kuasa
Pada titik ini hanya syukur yang bisa kuhaturkan ke hadiratNya

Sunday, October 11, 2015

Workshop Wedding Planning

Kemarin saya mengikuti workshop Wedding Planning dari Artea Wedding Organizer, pada acara Bride’s Day Out yang diselenggarakan oleh The Bride  Dept. 
Satu-satu ya saya jelasin.

The Bride Dept itu yang saya tahu awalnya sebuah website yang meliput acara pernikahan dan perangkatnya seperti lamaran, bridal shower, dan juga wawancara dengan vendor serta artikel tips mempersiapkan pernikahan. Intinya website ini menyediakan informasi persiapan pernikahan. (lihat sini)

Bride’s Day Out adalah acara perdana mereka, sepanjang pengetahuan saya. Pada dasarnya Bride's Day Out adalah wedding fair, namun dengan vendor-vendor pilihan dan memang sedikit jumlahnya. Acaranya diadakan tanggal 9-11 Oktober 2015 di West Mall, Grand Indonesia. (lihat sini)

Artea Wedding Organizer merupakan salah satu wedding organizer yang cukup kece di Jakarta, meskipun event yang mereka bantu bisa dilaksanakan di kota kota lainnya. Artea dibentuk dan dijalankan oleh empat wanita, yang setahu saya adalah teman main. (lihat sini)

Nah... saya ikut workshop Wedding Planning, yang dari namanya saja sudah ketahuan, yaitu langkah-langkah mempersiapkan pernikahan.
Eh cieee uda mau nikah aja nih.... eits. Jangan kegirangan dulu. 
Sesungguhnya yang terutama alasan saya ikut adalah, karena saya pengen jadi wedding planner suatu hari nanti. Saya pengen bantuin orang mempersiapkan pernikahan mereka supaya membina rumah tangganya kelak lebih bahagia dan sejahtera. 

Wedding planner adalah satu dari sekian banyak mimpi saya untuk membangun Indonesia yang lebih tangguh. Memang bisa? Hm... saya juga belum tahu. Tapi saya punya konsep besar tentang pernikahan baik acara dan ritual sampai ke kehidupan sehari-harinya, dan hubungannya dengan kualitas individu dan pada akhirnya kualitas bangsa.
Semoga perlahan saya bisa menjabarkan maksud hati saya sehingga pembaca bisa ikutan mudeng dan mudah-mudahan membantu saya mewujudkan cita-cita tersebut. 

Jadi nikahnya kapan mbak? Hmmm... bila Tuhan sudah berkehendak... pasti kami hambaNya diberitahu. 



Friday, July 3, 2015

Datang dan Pergi Sendiri

setiap orang lahir di dunia sendirian. Bahkan untuk anak kembar sekalipun. Jiwanya tetap mengisi satu tubuh saja.

Jiwa - jiwa dipertemukan untuk saling membantu dengan variasi waktu yang tak tentu

Namun seberapa ramai rombongan jiwa atau seberapa kuat ikatan di antaranya, pada akhirnya tiap jiwa punya perjalanan unik dan spesifik

Nantinya di ujung jalan, atau paling tidak terminal keberangkatan ke tujuan lain, tiap jiwa akan menyodorkan paspor dan tiket atas namanya sendiri.

Perjalanan dimulai dan berganti, dalam kesendirian